Pentingnya pemenuhan gizi di awal kehidupan bagi
pertumbuhan positif generasi sebuah bangsa sudah terlihat di berbagai negara.
Pemenuhan gizi awal kehidupan sebagai modal untuk membangun hidup sehat,
cerdas, dan produktif bagi generasi mendatang harus menjadi perhatian negara.
Sayangnya, pemenuhan gizi di Indonesia masih sangat rendah. Bahkan masih
ditemukan kondisi defisiensi pada beberapa zat gizi, yaitu protein, asam lemak
esensial, zat besi, kalsium, yodium, zink, vitamin A, vitamin D, dan Asam
Folat.
Data yang dirilis Global Nutrition Report tahun
2014 menyebutkan, prevalensi stunting atau perawakan pendek di Indonesia
mencapai 37,2 persen. Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara
terbesar kelima yang berkontribusi terhadap besarnya anak balita stunting di
dunia.
Asupan rendah Vitamin D, kekurangan (deficiency)
Vitamin D, dan ketidakcukupan (insufficiency) Vitamin D tidak hanya terjadi pada
anak-anak di Eropa, tetapi juga di Asia. Indonesia termasuk negara yang
menunjukkan prevalensi kekurangan Vitamin D pada anak yang cukup tinggi. Studi
Seanut Indonesia 2013 menunjukkan prevalensi kekurangan Vitamin D pada
anak-anak Indonesia berumur 2-4,9 tahun adalah sebesar 42,8 persen di desa dan
34,9 persen di kota.
Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia Institut
Teknologi Bogor Prof Hardinsyah MS mengatakan, masalah gizi di Indonesia masih
memprihatinkan. Hal tersebut terlihat dari jumlah balita bertumbuh pendek
(stunting) akibat kekurangan gizi di Indonesia masih tinggi yang mencapai 37,2
persen atau 8,8 juta balita Indonesia pada 2013.
"Pemenuhan gizi seimbang terutama bagi calon
ibu hamil, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita terus diperlukan. Terutama
difokuskan pada zat gizi yang masih defisiensi seperti protein, asam lemak
esensial, zat besi, kalsium, yodium, zink, vitamin A, vitamin D, dan asam
folat," ungkap Prof Hardinsyah, di Jakarta, belum lama ini.
Prof Hardiansyah menjelaskan, masalah stunting pada
anak memang erat sekali kaitannya dengan pemenuhan nutrisi, terutama dalam
1.000 hari pertama kehidupan yang dimulai sejak dalam kandungan. Untuk itu, ibu
hamil diingatkan untuk selalu memperhatikan kecukupan vitamin D dan kalsium
sebagai zat yang memengaruhi pembentukan tulang janin.
Kalsium dan Vitamin D memang sangat dibutuhkan ibu
hamil dalam proses pembentukan tulang janin. Bila kekurangan zat tersebut, maka
pembentukan tulang janin akan rendah dan lamban, sehingga menjadi kurang padat.
Kondisi tulang janin yang mulai terbentuk sejak dalam kandungan tersebut akan
memengaruhi tinggi badan bayi ketika dilahirkan.
"Bila zat yang dibutuhkan tulang tersebut
kurang, biasanya bentuk tulangnya jadi tidak normal, dan itu akan memengaruhi
tinggi badan sang bayi," jelas Hardiansyah.
Sementara itu, Direktur Developmental Physiology
& Nutrition Danone Nutricia Early Life Nutrition Dr Martine Alles
mengatakan, negaranya juga pernah mengalami hal serupa dengan Indonesia. Namun,
Belanda mendokumentasikan perubahan pertumbuhan generasi yang positif sejak
1858, yang dicerminkan dari peningkatan rata-rata tinggi badan, dari sekitar
163 cm pada awal abad ke-19 sampai dengan sekitar 184 cm pada akhir abad ke-20.
Khusus dalam 42 tahun sejak 1955 sampai 1997, Belanda mencatat peningkatan
rata-rata tinggi badan hampir 10 cm pada anak, remaja, dan dewasa muda.
"Selain masalah kebersihan dan keluarga
berencana, kontributor utama bagi perubahan pertumbuhan generasi yang positif
ini adalah peningkatan gizi dan kesehatan anak," papar dia.
Berat Badan Lahir
Selain tinggi badan, lanjut Dr Martine, Belanda
juga mengalami peningkatan berat badan lahir. Pada 1989–1991, rata-rata berat
badan lahir adalah 3.370 gram, sedangkan pada 2004–2006 berat badan lahir naik
menjadi 3.430 gram.
Dia menjelaskan, periode 1.000 hari pertama
kehidupan anak adalah periode penting bagi pertumbuhan anak-anak. Sebab, pada
periode tersebut terjadi pertumbuhan fisik dan penambahan massa otak, serta
pengembangan signifikan kemampuan kognitif, tulang, imunitas, sistem
pencernaan, dan organ-organ metabolisme. Kualitas pertumbuhan yang dialami pada
periode ini akan memengaruhi kesehatan mereka di masa depan. Bangsa Belanda
telah membuktikan pengaruh kuat gizi terhadap kualitas pertumbuhan di awal
kehidupan.
"Pada Perang Dunia II, wanita-wanita Belanda
yang mengalami kurang gizi dan gizi buruk akibat kelaparan, melahirkan
bayi-bayi dengan berat badan lahir rendah dan memiliki risiko tinggi terhadap
obesitas, sindrom metabolisme, dan diabetes pada usia dewasa," jelas dia.
Kasus internasional juga menunjukkan Vitamin D
sebagai salah satu zat gizi yang memengaruhi kualitas pertumbuhan anak-anak.
Pada abad ke-19 terjadi insiden penyakit riketsia (pertumbuhan tulang dalam
bentuk abnormal) yang melanda Eropa dan Amerika Serikat, khususnya di daerah
perkotaan, yang disebabkan oleh kurang terpaparnya anak-anak pada sinar
matahari. Pengobatan yang dilakukan kemudian adalah penggunaan minyak ikan pada
abad ke-20 dan penetapan Vitamin D sebagai fortifikasi mentega sejak 1961.
"Meningkatnya penyakit riketsia ternyata
menyingkapkan manfaat lain Vitamin D. Selain memperbaiki pertumbuhan tulang,
Vitamin D juga berpengaruh terhadap imunitas adaptif," tambah Dr Martine.
Head of Corporate Affairs Sarihusada Arif Mujahidin
mengatakan, contoh-contoh pengalaman di berbagai negara, baik negara maju
maupun negara berkembang, dalam mengoptimalkan gizi yang tepat sebagai solusi
bagi berbagai permasalahan kesehatan, khususnya terkait pertumbuhan dan
perkembangan.
Contoh-contoh pengalaman tersebut diharapkan dapat
memberikan masukan bagi Indonesia dalam melakukan perbaikan-perbaikan gizi.
Selain itu, pengetahuan lokal juga diperlukan bagi masyarakat Indonesia untuk
mengetahui bersama masalah yang dihadapi terkait gizi.
"Kami berharap apa yang disampaikan dalam
Nutritalk kali ini dapat digunakan sebagai masukan dan referensi bagi
pengembangan solusi perbaikan gizi untuk membangun generasi bangsa Indonesia
yang semakin berkualitas," tutup Arif.
Sumber:
Investor Daily
http://www.beritasatu.com/kesehatan/261087-gizi-solusi-masalah-kesehatan-dan-pertumbuhan-anak.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar